Mengenal Asal-Usul Baju Barong Yang Jadi Ikon Oleh-Oleh Khas Bali

Mengenal Asal-Usul Baju Barong Yang Jadi Ikon Oleh-Oleh Khas Bali


Bukan destinasi wisata namanya jika tak memiliki oleh-oleh khas yang biasa dibeli oleh wisatawan, begitupun Bali. Beberapa oleh-oleh yang terkenal sejak lama dan tak pernah dilewatkan dari Bali, sebut saja pie susu, kopi kintamani, tas rotan, hingga kain pantai. Namun, selain itu, ada satu jenis oleh-oleh utama yang paling ikonik, yakni baju barong.


Berbeda dari baju pada umumnya, bukan sekadar pakaian yang memiliki bordir arau cetakan nama daerah asal tempat wisata, pada baju barong ciri khas sederhananya justru berupa gambar wajah barong yang dalam agama mayoritas di Bali yakni Hindu, dikenal sebagai karakter mitologi yang berperan sebagai mahluk penjaga menyerupai singa dan macan.

Belum lagi, baju barong banyak disukai hingga membuat wisatawan biasa melakukan pembelian dalam jumlah banyak, lantaran baju ini terbuat dari bahan kain rayon tipis sehingga membuatnya terasa sejuk saat dipakai. Karena itu pula, banyak yang kemudian menjadikan baju barong sebagai baju santai yang nyaman digunakan sehari-hari di rumah.

Tak sulit mendapatkan baju barong jika berwisata ke Bali, di pasar tradisional baju dengan kualitas terbaik bisa didapat dengan harga bervariatif bahkan terjangkau, mulai dari Rp20.000 hingga Rp50.000.

Asal-Usul Baju Barong

Di balik kepopulerannya yang tak pernah padam hingga saat ini, tak disangka kemunculan baju barong sendiri memiliki cerita menarik yang dimiliki oleh pencetusnya, yakni Pande Ketut Krisna, yang baru saja tutup usia pada bulan Februari awal tahun ini.

Dikutip dari berbagai sumber, pria kelahiran tahun 1946 tersebut awalnya disebut secara tak sengaja ‘menciptakan’ baju barong saat ia dan keluarganya di Gianyar sedang mencoba mengembangkan kreasi kain endek (tenun) khas Bali, di mana saat itu kain endek umumnya hanya terdiri dari dua warna, seperti warna dasar hitam dipadu biru, hitam dipadu hijau, atau hitam dan cokelat.

Selama proses percobaan, Pande kemudian melakukan eksperimen lantaran berkeinginan untuk menciptakan warna yang lebih variatif. Ia melakukan teknik celup benang tenun untuk menciptakan kain endek warna-warni sehingga terciptalah kain endek warna-warni.

Akhirnya kain endek yang tadinya hanya memiliki dua warna, kini menjadi lima warna. Kemudian setelah mencoba berbagai macam cara, ditemukan juga alat dan cara untuk menciptakan aneka warna pada kain endek, yang dinamakan catrian. Penemuan tersebut yang kemudian dikembangkan sehingga terbentuk baju barong di tahun 1969 dari catrian.

Sedikit mengulik makna dan filosofinya, menurut kepercayaan Hindu di Bali, karakter barong merupakan makhluk mitologi Hindu dan menjadi simbol kebajikan atau dikenal dengan malaikat pelindung.

Bahkan, masyarakat Bali percaya, setiap wilayah memilki ruh pelindungnya masing-masing. Dan hal ini yang membuat setiap wilayah di Bali menggambarkan barong sebagai binatang yang berbeda-beda, sehingga secara keseluruhan ada banyak jenis barong yang dipercaya masyarakat Bali, di antaranya Barong Ket (Barong Singa), Barong Buntut, Barong Landung (Barong Raksasa), Barong Celeng (Barong Babi Hutan), Barong Macan, dan Barong Naga.

Pande sendiri dalam membuat baju barong sejak awal memutuskan memilih penggambaran barong yang lebih sederhana agar lebih mudah dibuat, sehingga dirinya mengecualikan motif barong ketet (ket), karena tergolong lebih rumit digambar.

Menariknya dalam proses pembuatan, hampir sebagian besar baju barong di Bali dibuat secara manual, yakni dengan dilukis tangan secara langsung di atas kain. Dimulai dengan menggambar kepala barong di bagian tengah baju berwarna cerah yang telah dipilih, dan dilanjutkan dengan menambahkan beberapa detail agar gambar barong terlihat lebih hidup. Mulai dari menggambar gigi, mulut, hidung, hingga mata barong.

Sejak pertama kali ditemukan, baju barong karya Pande identik dengan bentuk kepala barong dengan dasar kain polos berwarna cerah. Produknya ini laris manis di pasar oleh-oleh Bali seperti kawasan Ubud dan Kuta. Dulunya baju-baju tersebut dijual seharga Rp1.500 per potong dan selalu habis terjual karena dianggap penemuan baru saat wisatawan mencari oleh-oleh.

Posting Komentar

0 Komentar